Tersebutlah pada tahun 2012, profil sebuah sekolah ditayangkan di sebuah stasiun televisi swasta. Sebuah sekolah negeri di Desa Randublatung, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Laporan program televisi yang memang terkenal sebagai acara “jualan air mata” itu menyorot bangunan sekolah yang beralas tanah dan berdinding kayu keropos. Tidak ada toilet di sekolah tersebut, apalagi mengharapkan perpustakaan. Jumlah guru hanya satu, itupun belum berstatus pegawai negeri.
Pada akhirnya, saya datang ke lokasi. Letaknya memang cukup menantang. Ia berada di antara luas hutan jati milik dua wilayah. Hanya terdapat satu desa di dalam hutan dan sekolah yang bagai potret cetak hitam putih di zaman visualisasi digital itu, ada di sana. Satu pernyataan yang saya ingat dari sang kepala sekolah, “Kalau membangun di daerah terpencil begini, mereka khawatir kinerja mereka tidak nampak dan tidak akan memperoleh tepuk tangan.”
Pemerintah umumnya mau datang dan kemudian membangun sekolah-sekolah yang ada di tengah kota. Sebab, jaraknya dekat dan mudah dijangkau, sehingga biaya infrastruktur tidak mahal dan otomatis anggaran dapat ditekan. Selain itu, pembangunan maupun peningkatan kualitas akan mudah terlihat orang dan kemudian menghasilkan puja-puji. Pendidikan di Indonesia ini ternyata tidak seindah kisah yang tercatat dalam sejarah-sejarah pra-kemerdekaan. Zaman dulu, rakyat kita dengan sukarela bahu-membahu membangun sekolah, baik fisik maupun tenaga pendidik. Nyumbang batu, nyumbang ubin, nyumbang gaji guru, ikhlas Lillahi Ta’ala.
Ketika itu, orang percaya kalau dengan mengantar anak ke sekolah, anak tersebut bakal jadi “orang beneran”, priyayi. Ya seperti yang digambarkan Pramoedya, Mas Marco, dan Umar Kayam dalam Para Priyayi itulah. Namun hari ini, ada banyak halnggatheli yang justru patut diajukan ketika rasan-rasan bab pendidikan. Misalnya nih, Aceh itu provinsi kaya raya. Sekolah gratis dari jenjang dasar hingga SMA, bahkan kuliah untuk anak yatim: gratis! Ada tunjangan lebih dari satu juta per bulan, ada pula kartu asuransi kesehatan untuk semua kalangan.
Infrastruktur sekolah di Aceh, yang juga peninggalan bantuan asing, menakjubkan. Orang Aceh nggak pernah demo terkait isu nasional yang kerap diteriak-teriaki oleh orang Jawa seperti ihwal kenaikan BBM, harga beras, dan semacamnya. Angka pendapatan masyarakatnya bisa dibilang paling tinggi di Sumatera. Tapi ya tetap saja, denger-denger sih, meskipun kondisi alam mendukung begitu,mindset masyarakat terhadap pendidikan masih dan selalu perlu berbenah. Kita tahu, biasanya, makhluk Tuhan yang kurang bersyukur itu adalah mereka yang berwajah rupawan. Manusia yang nggantheng-nya cum laude biasanya kufur nikmat dengan menjadi bajingan atau playboy skala lokal.
Begitu juga dengan daerah-daerah yang sudah makmur. Masyarakatnya justru cenderung menyepelekan pendidikan, malas kuliah, juga rajin nikah muda. Lha kalau muka minimalis, tapi kok tetep mbajing, itu kan namanya kebatilan yang tidak terampuni…
Barangkali, itulah sebabnya ketika membaca berita di media massa, kita jadi sering kesulitan membedakan berita pendidikan dan berita kasus-kasus dalam dunia pendidikan. Tiap membaca halaman “pendidikan” di media massa, judul-judul yang muncul selalu semacam “Guru Mencabuli Murid”, “Guru Korupsi Dana BOS”, “Siswa Memperkosa Teman Sekelasnya”. Lah, jika diperhatiken dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, menggunakan kamus thesaurus Eko Endarmoko, kata kunci “mencabuli”, “korupsi”, “memperkosa” itu kan segolongan aktivitas yang jauh di luar area pendidikan? Kadang-kadang, itulah alasan saya masih mengapresiasi Kompas cetak, sebab koran itu masih sering menerbitkan tulisan feature menarik yang “benar-benar pendidikan” di halaman 12.
Tapi, ya itulah faktanya. Kasus-kasus di luar pendidikan itulah yang sering menyebabkan agenda inti pendidikan justru terhambat. Sayangnya, kawan-kawan Indonesia Mengajar, SM3T, dan para pengabdi lain di daerah terjauh, terluar, dan terpencil itu jarang menceritakannya. Kalian mungkin sudah membaca ihwal Domingus N Misa, PNS yang menjabat Bendahara Badan Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), NTT, yang dikabarkan nekat mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri di ruang kerjanya pada 22 Agustus 2016.
Ironisnya, Domingus meninggalkan surat wasiat yang isinya menguraikan alasan motif bunuh dirinya. Disebutkan, dia merasa mendapat tekanan oleh pimpinan dalam tugasnya sebagai seorang bendahara yang kerapkali dipaksa menandatangani SPJ dan anggaran-anggaran palsu. Kebetulan, Pradewi Tri Chatami, seorang teman yang sedang bertugas sebagai peneliti sering berkunjung ke perpustakaan yang berada di Kecamatan Kota SoE itu. Pradewi, lewat status fesbuknya, sempat curhat bahwa ia tak percaya jika Domingus benar-benar bunuh diri dan curiga ada kejahatan dalam peristiwa ini. Sebab, menurutnya, Domingus adalah orang yang begitu luhur budinya.
Kawan pengabdi salah satu daerah kecil di Kepulauan Halmahera, misalnya, juga bercerita tentang sekolahnya yang hanya memiliki dua tenaga pengajar, yakni kepala sekolah dan satu guru. Padahal, dana pendidikannya ada, dana BOS juga ada. Sumber dari segala malapetaka di sekolah itu ternyata adalah si kepala sekolah sendiri. Sekolah sering diliburkan, para siswa yang masuk dipekerjakan sebagai kuli pemanjat kebun kelapa miliknya.
Ia sering menciptakan situasi yang tidak enak dengan tenaga-tenaga pengajar yang dikirim oleh pemerintah pusat di daerah. Dan, yang paling jancuk, dana-dana pendidikan di sana dapat terlibat dalam pusaran-pusaran tidak rasional yang bergesekan dengan biaya kampanye bupati hingga korupsi lurah. Saya ngeri membayangkan jika kasus semacam ini diusut, Benedict Cumberbatch langsung angkat tangan, apalagi televisi yang betah menayangkan sidang live sianida berbulan-bulan itu pun juga belum pasti berani ambil risiko.
Sekelumit di atas belum bicara soal Jambi yang dijajah perusahaan sawit, Pekanbaru yang hutannya mulai dibakari lagi, Sangihe yang anak-anaknya hanya tahu melaut dan seks bebas, atau Papua yang kita sampai tidak punya kata-kata untuk membahasnya. Pada saat yang sama, saya teringat pagi-pagi yang padat di bus kota. Anak-anak kampung pinggiran berangkat di pagi buta dengan seragam dan tas berbuku memandang billboard-billboard promosi Perguruan Tinggi, yang menjanjikan kesuksesan dengan bahasa dan simbol muluk dalam bintang iklan klimis berdasi…
Sumber: http://log.viva.co.id/